Berusia Dua Tahun Dinobatkan Menjadi Sultan
Suatu
pristiwa yang menegangkan dan bersejarah dalam menentukan kelangsungan dan jalan hidup-matinya Kerajaan Riau-Johor dan
Pahang—setelah mangkatnya Sultan atau Raja (Yang Dipertuan Besar) Sulaiman
Badrul Alamsyah—adalah ditabalkannya
(dilantiknya) Tengku atau Raja Mahmud yang berumur sekitar dua tahun menjadi
Yang Dipertuan Besar (Sultan/ Raja) Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, yang
bergelar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah atau Sultan Mahmud Syah III. Selepas
pelantikan itu maka seluruh pembesar kerajaan mulai dari Yang Dipertuan Muda,
Bendahara, dan Indra Bungsu serta segenap rakyat kerajaan menjunjung duli
kepada Sultan Mahmud Syah III. Penobatan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah, Maka
terjadilah pertemuan antara pihak bugis dengan melayu berkenaan dengan penganti
Sultan Ahmad sebagai Yang Dipertuan Besar Riau-Lingga-Johor-dan Pahang dan
daerah takluknya. Telah terjadi perdebatan antara pihak bugis (dibawah pimpinan
Yang Dipertuan Muda III Riau Daeng Kamboja) dan Raja Haji (Engku Kelana) dengan
pihak melayu dengan pimpinan, Datuk Bendahara Temenggung.
Tentang
penobatan tersebut dijelaskan Raja Ahmad
dan Raja Ali Haji dalam buku sejarah Melayu Tuhfat
al-Nafis (1865) yang dialih-bahasa ke dalam Inggris oleh Virginia Matheson
Hooker (1991) dan diterjemahkan oleh Ahmad Fauzi Basri. Syahdan apabila
keesokan hari maka berkumpullah segala raja-raja suku Melayu serta (Datuk
Bendahara Temenggung semuanya ke balai serta) berkain lepas, dan berpendawa
semuanya, dan Bugis-bugis dengan anak rajanya pun datang pula berkumpul, dengan
memakai seluar sampak bertondera batung semuanya, berpendawa juga dengan
kelewangnya dan halamangnya. Maka duduklah bersebelahan Bugis-bugis dengan
Melayu itu. Maka Yang Dipertuan Muda dan Raja Haji serta anak-anak raja Bugis
sekalian duduklah bertentangan dengan raja Melayu itu. Maka yang Dipertuan Muda
pun memandang-mandang berkeliling-keliling, maka dilihat olehnya Dahing Cellak
dan Dahing Kecik dan Engku Muda adik-beradik, duduk berdekat-dekat dengan Datuk
Temenunggung semua. Maka bertitahlah Yang Dipertuan Muda kepada anak raja
ketiga itu titahnya, “Cellak dan Kecik
dan Muda, mari engkau ke mari sebelah aku semua di sini.” Maka Dahing Cellak
dan Dahing Kecik pun adik-beradik beralihlah pihak sebelah Yang Dipertuan Muda
itu, karena ia putera Raja Maimunah konon.
Seketika
lagi maka Yang Dipertuan Muda (pun) naiklah ke istana lalu didukungnya Raja
Mahmud, dibawanya turun (ke balai) lalu diribanya di atas singgahsana. (Syahdan
pada satu kaul orang tua-tua adalah menjulangnya itu satu anak baik daripada
keturunan Bugis yang empat puluh, yang bernama To Kubu adanya). Setelah anak
raja-raja Bugis melihat yang demikian itu, maka ia pun (masing-masing) memegang
hulu kerisnya. Maka Yang Dipertuan Muda pun bertitah(lah), “Barang tahu kiranya
suku-suku (sebelah) Melayu, dan sebelah Bugis, bahawa sesungguhnya inilah raja
Johor, dengan segala takluk daerahnya yang diangkat oleh Bugis (sebagaimana
mengangkat nendanya Marhum Batangan, dan ia pun demikian jua). Maka barang
siapa (yang) tiada membetuli aturan ini, maka pada hari /inilah/ (dan waktu)
inilah (kita) berhabis-habis.” Maka lalu(lah) ia mengunus halamangnya.
Maka
Datuk Bendahara berkata, “jikalau sudah patut (ke)pada abang semua (sebelah
Bugis), Raja Mahmud ini menjadi raja Johor (dengan segala takluk daerahnya)
maka saya semua pun sertalah, (karena semunya pun anak cucu marhum juga,
semuanya patut saya sembah).” Maka jawab Yang Dipertuan Muda, “Jikalau sudah
begitu (Orang Kaya), al-hamdu li’llah sama-sama betul mufakat (antara kita
kedua pihak.” Maka lalu disarungnya halamangnya). Maka lalu diajak (oleh Yang
Dipertuan Muda) antara kedua pihak /itu/ bersama-sama menjunjung duli.Maka
menjunjung dulilah kedua pihak (Melayu dan Bugis itu). Kemudian baharu(lah)
bersetia pula, (seperti setia Marhum yang Mangkat di Sungai Baru. Maka setelah
selesai/lah daripada itu maka/ titah Yang Dipertuan Muda, “Bacalah fatihah.”
Maka dibacalah fatihah oleh imam akan fatihah dan doa. Maka habislah pekerjaan
itu maka kembalilah antara kedua pihak Bugis dan Melayu itu (Metheson Hooker,
1991:320-322).
Penobatan Raja Mahmud yang masih
kanak-kanak itu menjadi Sultan atau Yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Johor
dan Pahang, menyusul kegentingan kepemimpinan tertinggi, tiada lagi sosok atau
figur dewasa sebagai zuriat langsung dari Sultan untuk menduduki tahta
kesultanan. Ini dikarenakan setelah mangkatnya Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah,
yang sepatutnya digantikan oleh putranya sendiri yakni Abdul Jalil, namun belum
sempat ditabalkan, juga meninggal dunia. Atas wafatnya Abdul Jalil, maka
sebagai penggantinya dilantiklah Raja Ahmad menjadi Sultan atau Yang Dipertuan
Besar Kerajaan Riau-Johor dan Pahang, yang usianya kala itu sekitar Sembilan
tahun. Namun musibah kembali terjadi menimpa kerajaan ini, Sultan Ahmad yang
baru ditabalkan menjadi Sultan atau Yang Dipertuan Besar itu, jatuh sakit dan
kemudian meninggal dunia pula. Selepas meninggalnya Sultan Ahmad tersebut, maka
muncul keinginan dari pembesar kerajaan dan sebagian masayarakat agar sultan
yang akan ditabalkan adalah seorang yang sudah dewasa, baik dari sebelah Melayu
atau dari pihak Bugis. Dengan adanya pendapat dan keinginan semacam itu, maka telah menimbulkan
persoalan di kalangan istana, dan bila-bila waktu bisa terjadi perang saudara. Maka itulah Yang
Dipertuan Muda III Riau, Daeng Kamboja tidak mau ambil resiko akan terjadi
perpecahan dan apatah lagi perang saudara. Dengan keyakinannya, maka ia pun
melantik atau menabalkan Raja Mahmud menjadi Sultan atau Yang Dipertuan Besar
Kerajaan Riau-Johor dan Pahang. Waktu itu usia Raja Mahmud baru sekitar dua
tahun, yang penabalannya sebagaimana dijelaskan di atas.
Agar lebih dapat
dipahami serangkaian kejadian sehingga dilantiknya Raja Mahmud menjadi Sultan
atau Yang Dipertuan Besar tersebut, dalam bagian ini perlu dijelaskan lebih
lanjut. Buyong Adil menjelaskan, Yang Dipertuan Besar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyahpada bulan Agustus 1760 telah
menyuruh Raja Selangor (Raja Lumu), Raja Haji, dan putra bagindasendiri yaituRaja Abdul
Jalil (Raja di-Baroh) pergi ke Rembau
mengambil Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja untuk dibawa balik ke Riau (Hulu Sungai Carang,
Pulau Bintan) agar dapat menjalankan
tugas-tugas yang berkaitan dengan
pemerintahan negeri
selaku Yang Dipertuan Muda. Namun, setelah ketiga-tiga orang itu meninggalkan
Riau, Sultan Sulaiman pun jatuh gering (jatuh sakit). Pada masa itu juga Engku Putih (anak
Daeng Celak), istri Raja Abdul Jalil atau Raja di Baroh yang tinggal di Riau
itu, bersalin (melahirkan) seorang putra yang diberi nama Raja Mahmud.Sedangkan
putra beliau yang sulung bernama Raja Ahmad masih kanak-kanak lagi, belum baligh.
Kemudian, lanjut Buyong Adil rombongan
Raja Selangor (Raja Lumu), Raja Haji, dan Raja Abdul Jalil sampai ke Pedas
(Rembau).Mereka segera menyampaikan titah Sultan Sulaiman kepada Daeng Kamboja
agar balik ke Riau. Rombongan beberapa hari di Pedas. Daeng Kamboja menyetujui
untuk balik ke pusat pemerintahan kerajaan di Riau (Hulu Sungai Carang, Pulau
Bintan) dan menyetujui pula Raja Abdul Jalil mengikut Raja Selangor pergi
melawat ke Selangor (Kuala Selangor). Akan tetapi, dengan tak disangka-sangka, setiba di Selangor,
Raja Abdul Jalil telah jatuh gering, demam, dan beliau diam di istana Raja Lumu
itu. Sementara Sultan Sulaiman di Riau yang sedang gering, semakin bertambah
gering (sakit) pula.Akhirnya pada 1760, itu Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah pun mangkat di Riau dalam usia lebih kurang 60
tahun. Kala itu Daeng Kamboja dan Raja Haji masih di Rembau (Pedas) dan putra
almarhum, Raja Abdul Jalil yang dikenal
sebagai Raja di-Baroh yang telah ditentukan bakal menggantikan almarhum
berkerajaan atau menjadi Sultan (Yang Dipertuan Besar) Kerajaan
Riau-Lingga-Johor dan Pahang, sedang gering (sakit) di Selangor (Kuala
Selangor).
Dalam keadaan demikian, dijelsaskan Buyong
Adil maka Bendahara pun mengantarkan utusan pergi memberitahukan hal itu (meninggalnya
ayahandanya, yakni Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah) kepada putra almarhum,
yakni Raja Abdul Jalil di Selangor,
serta kepada Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja dan Raja Haji di Pedas (Rembau).
Berita duka cita itu disampaikan juga kepada Raja Selangor (Raja Lumu, yang tak lain
adalah adik Raja Haji)
di Selangor. Dengan kehendak Allah, kira-kira lima bulan kemudian Raja Abdul
Jalil yang sedang berada di Selangor itupun secara tiba-tiba mangkat pula. Beliau wafat sebelum menduduki tahtanya di
Riau.Jenazah beliau pun disiapkan di Selangor.Selepas itu dibawa dengan
adat-istiadatnya ke tempat Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja dan Raja Haji di
Pedas (di Rembau). Dari Pedas, dengan istiadatnya pula, jenazah itu dibawa oleh
Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja dan Raja Haji dalam suatu rombongan besar 45
buah perahu balik ke Riaupada Februari 1761. Rombongan disambut dengan adatnya
di Riau (Hulu Sungai Carang).
Setiba di Riau, jelas
Buyong Adil, maka Yang Dipertuan Muda III Riau Daeng Kamboja serta orang
besar-besar Bugis di Riau—sebelum Sultan Abdul Jalil dimakamkan—maka
dilangsungkan acara adat kerajaan, yakni merajakan (menabalkan, menobatkan atau
melantik) Raja Ahmad, putra sulungnya menjadi Yang Dipertuan Besar atau Sultan
Riau-Johor-Pahang dan daerah takluknya, dan digelar Sultan Ahmad Ri’ayat Syah.
Pada masa itu, usia Raja Ahmad lebih kurang sembilan tahun dan adindanya yang
bernama Raja Mahmudmasih kecil
(kanak-kanak, berusia sekitar 2 tahun). Selepas itu, barulah jenazah almarhum Sultan Abdul Jalil[1]
dimakamkan di kawasan pemakaman
ayahandanya, Marhum Batangan (Sultan
Sulaiman Badrul Alamsyah) di Kampung Bulang, Hulu Riau (Hulu Sungai Carang),
Pulau Bintan.
Duka-cita betul-betul datang bertubi-tubi
atas Kerajaan Riau-Johor dan Pahang, karena tidak lama selepas mangkatnya Abdul
Jalil, dan dilantik putanya Raja Ahmad menjadi Sultan atau Yang Dipertuan
Besar, maka sang ibunda atau isteri almarhum Sultan Abdul Jalil yang bernamaEngku
Putih binti Daeng Celak mangkat pula, dan dimakamkan di pemakaman Kampung Bulang
tersebut. Dengan demikian maka Raja Mahmud dan kakandanya Sultan Ahmad Ri’ayat
Syah menjadi yatim piatu.Maka keduanyapun berada dalam pengasuhan keluarga suku
Melayu di Kampung Bulang dan dalam tanggungjawab Yang Dipertuan Muda III Riau
Daeng Kamboja bersama Engku Kelana Raja Haji ibni Daeng Celak. Raja Mahmud
dipelihara oleh emak saudaranya (bibinya) Engku Hitam (adik Engku Putih), Raja
Aminah, dan Raja Halimah (adik Raja Haji). (Adil, 1971:122-125).
Dalam waktu
singkat Raja Ahmad menjadi Yang Dipertuan Besar, dan dia pun meninggal dunia
pula. Atas kejadian itu sebagaimana dijelaskan di atas, maka Yang Dipertuan Muda
III Riau Daeng Kamboja dengan yakin dan percaya diri menobatkan Raja Mahmud
menjadi Sultan atau Yang Dipertuan Besar Riau-Johor dan Pahang, sebagai mengganti Raja
Ahmad. Dapat ditegaskan, bahwa Daeng Kamboja selaku Yang Dipertuan Muda III
Riau tampil melantik atau menabalkan Raja Mahmud menjadi Sultan atau Yang
Dipertuan Besar Riau-Johor dan Pahang, untuk membuktikan kepada para
pembesar kerajaan dan segenap masyarakat, bahwa hal itu sebagai bukti tetap berpegang
teguh dan setia atas “Sumpah Setia Melayu-Bugis” sejak tahun 1722, yang ibarat “Mata hitam dan Mata putih”. Sumpah
setia itu mempertegas bahwa yang menjadi pimpinan tertinggi kerajaan, dihormati
sebagai Mahaduli adalah Sultan atau Yang Dipertuan Besar (dijabat oleh pihak
Melayu) dengan petinggi di bawahnya yang Yang Dipertuan Besar (dijabat oleh
Bugis), Bendahara dan Indra Bungsu (juga Melayu). Daeng Kamboja
ingin sumpah itu tetap dipertahankan dan diwujudkan, sehingga tak jadi soal
berumur berapapun seseorang yang dilantik dan menduduki singgasana kesultanan.
Maka itulah, Raja Ahmad yang masih berusia sekitar Sembilan tahun dilantik, dan
setelah meninggal maka adiknya yang bernama Raja Mahmud yang masih berumur
sekitar dua tahun dilantik menjadi Sultan atau Yang Dipertuan Besar.
Pendidikan dan Pematangan Kepribadian
Raja Mahmud sejak kecil
sudah menampakkan tanda-tanda kelak akan menjadi orang besar. Apa-apa asuhan
emak saudara (bibi)-nya, juga Daing Kamboja dan Raja Haji (ayah
saudara/pamannya), menjadi penting bagi pertumbuhkembangannya sehingga mencapai
kanak-kanak sampai remaja atau akil balig. Tentulah kepadanya sudah diberikan
berbagai ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama dan pemerintahan, karena beliau
putra seorang sultan (raja) dan telah pun ditabalkan menjadi Yang Dipertuan
Besar, Sultan Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Pendidikan agama Islam sudah
didapatinya dengan baik ketika masih kanak-kanak, karena di pusat
kerajaan di Hulu Sungai Carang, Bintan, dilangsungkan pula
pendidikan-pendidikan agama Islam oleh guru-guru agama atau ulama, baik di
istana maupun di masjid atau surau.
Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang sebagai
kelanjutan dari Kerajaan Melayu-Islam
Melaka. Oleh sebab itu, sudah menjadi keniscayaan bahwa kerajaan inipun
bercorak Islam, yang pendidikan bagi anak-anak sultan atau raja-raja dan rakyat
sekaliannya ditekankan pada pendidikan bersendikan Islam. Pendidikan
ketauhidan, syariah, dan muamalah diberikan di dalam istana dan rumah-rumah
ibadah berupa langgar, surau, masjid dan rumah wakaf.Sejalan dengan itu,
pendidikan tentang pemerintahan dan ketentaraan pun diberikan pula karena untuk
kelangsungan kedaulatan negeri dari berbagai musuh, khususnya Belanda. Dengan
demikian, tak mengherankan bila setiap sultan atau raja mempunyai semangat
juang yang membaja, tak tergoyahkan oleh bujuk rayuan pihak musuh, khususnya
Belanda. Pada akhirnya, setiap derap perjuangan dalam mempertankan kedaulatan
negeri, tiada lain tersebab panggilan berjuang di jalan Allah, yang dikenal
dengan fi sabilillah, yang pada
gilirannya sudah menjadi pilihan bila akhirnya gugur sebagai syuhada atau syahid fi sabilillah.
Niscayalah pendidikan semacam itulah yang
diberi dan ditanamkan oleh Yang Dipertuan Muda III Riau, Daing Kamboja dan
Kelana Raja Haji kepada Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Riayat Syah,
sewaktu kanak-kanak sehingga akil balig. Kala itu, Yang Dipertuan Muda dan
Kelana Raja Haji telahpun pula mencontohkan langsung kepada Baginda Sultan yang
masih belia itu bagaimana memimpin dan mengelola pemerintahan demi kemajuan,
kemakmuran, dan kejayaan kerajaan (negeri dan masyarakat). Terlebih lagi,
marwah negeri dan pemerintahan mesti ditegakkan meskipun dengan taruhan jiwa
dan raga. Berhadapan dengan musuh kerajaan, terutama Belanda, tiada ubahnya
berhadapan dengan musuh Allah sehingga tak akan pernah ada kata kompromi,
apalagi mau ditaklukkan. Sikap dan kata yang pasti hanya satu, berjuang sebagai
perlawanan dengan niat di jalan Allah, fi
sabilillah. Itulah ajaran dan didikan yang memang telah melembaga di
kalangan adat-istiadat Diraja Melayu-Islam.
Kepribadian Sultan Mahmud Riayat Syah tentulah amat berbeda dan jauh lebih maju,
matang, mahir (piawai), dan hebat (tangguh) bila dibandingkan dengan sultan-sultan
dalam kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang sebelumnya. Baginda sejak kecil
(kanak-kanak) lagi sudah berkedudukan sebagai Yang Dipertauan Besar, Sultan
Johor-Riau-Lingga-Pahang. Pendidikannya diberikan langsung oleh Yang Dipertan Muda III Riau,
Daing Kamboja, Kelana Raja Haji, dan pembesar-pembesar kerajaan lainnya seperti
Datuk Bendahara, Temenggung, dan Indra Bungsu. Di samping itu, tentulah Baginda
juga dididik oleh sejumlah cerdik-pandai atau ulama dalam perkara agama
Islam.Kepribadiannyapula mendapat tempaan dari beberapa ibunda saudaranya, yang
terutama Engku Hitam, saudara kandung ibundanya yang telah mangkat.
Berlangsungnya pendidikan dalam segala
bidang di dalam istana sudah menjadi kelaziman di dalam kerajaan-kerajaan Islam
nusantara ketika itu. Karena penguasa-penguasa atau pembesar-pembesar kerajaan
menjadi peneraju penting dalam penyebaran dan pengembangan Islam, tak terkecuali
pendidikannya, Islam menjadi agama yang sepenuhnya diyakini dan diamalkan oleh
segenap rakyat kerajaan. Peran dan pengaruh penguasa menjadi sangat penting dan
dominan di dalam syiar Islam tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (2), peran penguasa
kerajaan-kerajaan Islam di nusantara sangat besar dalam penyebaran agama
Islam.Sejak abad ke-17 dapat dikatakan bahwa Islam telah menyebar ke seluruh
penjuru nusantara melalui berbagai saluran seperti perdagangan, perkawinan,
birokrasi pemerintahan, pendidikan (pesantren), mistik cabang-cabang seni, dan
lain-lain (1994:215—216).
Dengan kata lain, pendidikan yang
berlangsung bagi anak-anak bangsawan dalam kerajaan Islam, terutama berlangsung
di istana. Pendidikan Islam, terutama, berlangsung di langgar.
Pengajaran di langgar merupakan pengajaran agama permulaan. Anak-anak dididik
pada awalnya mempelajari abjad Arab, kemudian mengeja ayat-ayat Al-Quran.
Berbagai pengetahuan dasar agama diajarkan pula, terutama tentang ibadah dan
akhlak. Langgar, bukan pula hanya sebagai tempat pendidikan agama, melainkan
sekaligus sebagai lembaga sosial yang memiliki peranan penting di dalam
membentuk karakter dan kepribadian anak-anak. Rasa kebersamaan dan kesetiaan
akhirnya menjadi terpupuk dan tumbuh di antara anak-anak, yang lambat laun
menyadari bahwa mereka telah menjadi anggota kebersamaan (kelompok) yang besar,
yakni Islam.
Bila demikian halnya, menjadi jelaslah
bahwa pendidikan yang didapati Sultan Mahmud Riayat Syah, niscayalah terutama
dari lingkungan istana.Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang adalah satu di antara
kerajaan yang besar di nusantara, sebagai kerajaan yang melekat dengan
adat-istadat Melayu. Apabila Islam telah menjadi agama kerajaan dan segenap
rakyatnya, maka kerajaan telah mengambil Islam sebagai agama yang mematrikan
sendi-sendi Melayu dengan Islam sebagai satu dan kesatuan. Oleh karena itu,
sudah barang tentu menjadi wujud ajaran Islam di dalam pelaksanaan pemerintahan
dan demikianlah pula di dalam pendidikannya. Niscayalah, Daing Kamboja, Raja
Haji, dan para ibundanya sudah melatih Sultan Mahmud Riayat Syah untuk melakukan berbagai perkara bagi dirinya
secara pribadi, pemerintahan, ekonomi, perperangan, dan sebagainya. Di dalam
keluarga, pelatihan itu penting sehingga ketika anak telah dewasa, dia akan
berbuat sebagaimana patutnya. Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua Belas menegaskan, yang menekankan sangat mustahaknya
pelatihan bagi anak-anak, Apabila anak
tidak dilatih/Jika besar bapanya letih. Tak ada keraguan, bahwa Mahmud sudah dididik dengan pendidikan umum dan
agama Islam dan sudah pula dilatih dengan
sebaik-baiknya, terutama oleh Daing Kamboja dan Raja Haji sehingga
pantaslah akhirnya Baginda menjadi sultan terbesar dan sukses di antara jajaran
sultan Kerajaan Melayu Bintan, Melaka, hingga Riau-Lingga.
Berkenaan dengan penjelasan di atas,
dapat dikaitkan dengan pendapat Parsudi
Suparlan dan S. Budhisantoso dalam Masyarakat
Melayu Riau dan Kebudayaannya.Menurut kedua pakar itu, yang membedakan
orang Melayu dari golongan-golongan penduduk lainnya di nusantara, terutama di
masa lampau, adalah pola kehidupannya yang berorientasi kepada kelautan, agama
Islam sebagai pedoman utama dalam
kehidupan mereka, dan kelonggaran dalam struktur-struktur sosialnya. Karena orientasi kehidupan mereka
dan karena kedudukan komunitas-komunitas mereka di pantai yang merupakan daerah
terdepan dari berbagai kontak hubungan dengan dunia luar, orang Melayu itu pula
yang sebenarnya paling awal mengenal agama Islam. Oleh karena itu,
ajaran-ajaran agama Islam dapat meresap dalam tradisi-tradisi yang berlaku dan
menyelimuti berbagai upcara-upacara dan tindakan-tindakan simbolik yang pada
dasarnya bukan Islam.Kedudukan mereka yang berada di garis terdepan dalam
berbagai kontak kebudayaan dengan dunia luar yang berlangsung secara terus-menerus,
termasuk kontak-kontak dengan dunia Islam, mempermudah penyebaran agama Islam
dalam kehidupan orang Melayu (1986:1).
Bagi Sultan Mahmud Riayat Syah,
niscayalah sejarah panjang Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang sejak Kerajaan
Bintan, Temasik, lalu Melaka, kemudian di Bintan, ke Kampar, dan di Johor,
menjadi bacaan penting bagi mata hati dan pikirannya.Bagaimana pasang-surut,
turun-naik, jatuh-bangun kerajaan Melayu ini akibat terjadinya sengketa,
perebutan kekuasaan, dan perang saudara di antara anak-anak atau keturunan raja
dan perperangan dengan Portugis dan Belanda, telah memberi pemahaman yang
mendalam bagi pikiran, sikap, dan tindakan Mahmud sebagai Yang Dipertuan Besar, Sultan Kerajaan
Riau-Lingga-Johor-Pahang. Demikianlah pula perihal acapkali muncul atau
terjadinya perselisihan, silang-sengketa, yang menyangkut perkara kekuasaan dan
harta-benda antara pihak Melayu dengan pihak Bugis dan puak-puak lainnya di
dalam kerajaan, menjadi tempaan dan pemikiran tersendiri pula oleh Sultan
Mahmud. Mentelah lagi, perkara kepicikan Belanda terhadap lawan-lawannya
senantiasa mengiming-imingi dengan berbagai janji dan melakukan perjanjian,
tetapi senantiasa tiada ditepati oleh Belanda. Beliau akhirnya menjadi paham
benar tentang akal bulus, niat busuk, dan siasat licik Belnda. Beliau
niscayalah mempunyai pemikiran dan sikap untuk mengambil kebijakan dan tindakan
agar perkara-perkara yang tiada patut dan dapat merusak kedaulatan negeri itu dapat
diakhiri dan berjalan dengan penuh persaudaraan, kekeluargaan, damai, dan
tenteram. Kelak Sultan Mahmud Riayat Syah pun mengukuhkan kembali perjanjian
atau Sumpah Setia Melayu-Bugis dan memberi taman-laman hidup dan kehidupan
kepada berbagai puak, antara lain orang Cina, di dalam Riau dan daerah
takluknya. Menjadi jelaslah pula bahwa beliau telah berjasa besar dan luar
biasa kepada bangsa di dalam pembauran dan perbauran kebangsaan.
Hubungan
Darah dengan Raja Haji Fisabilillah
Sebelum sampai kepada
wujudnya hubungan persaudaraan atau hubungan darah antara Yang Dipertuan Besar
Sultan Mahmud Riayat Syah dan Yang Dipertuan Muda IV Riau, Raja Haji, diperIkan
terlebih dahulu hubungan dan persebatian suku Melayu dengan suku Bugis di alam
Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Bermula ketika pusat kerajaan berada di Hulu
Riau, Sungai Carang, Bintan. Kala itu yang menjadi sultan adalah Raja Kecik
(l), yang mengambil-paksa tahta kerajaan dari Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV
(yang sebelumnya adalah bendara). Anak sultan, yakni Tengku Sulaiman, pada
akhirnya hendak merebut kembali tampuk pimpinan kerajaan dari tangan Raja
Kecik. Dalam rangka mengambil-alih lagi pimpinan kerajaan itu, Tengku Sulaiman
minta bantuan bersekutu dengan
bangsawan-bangsawan Bugis.[1]Itulah
awal-mula terjadinya hubungan baik, bukan
[1] Tentang hal ini dijelaskan
banyak sumber, antara lain Abdul Kadir Ibrahim, dkk., dalam Aisyah Sulaiman Riau Pengarang & Pejuang
Perempuan. Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah, yang dalam
tahun 1719 memindahkan pusat pemerintahan dari Johor ke Riau lagi.Pada bagian
lain, keturunan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV, yakni Tengku Sulaiman berupaya
untuk merebut kembali tahta dan kekuasaan dari tangan Raja Kecil. Sampai
kemudian, dia minta bantuan kepada lima bangsawan Bugis asal Luwu, yakni Daing
Perani, Daing Marewah, Daing Celak, Daing Menambun, dan Daing Kemasi. Akhirnya
terjadilah perperangan antara Tengku Sulaiman yang dibantu bangsawan Bugis
dengan Raja Kecil. Bangsawan Bugis tersebut sampai bersedia membantu Tengku
Sulaiman berperang melawan Raja Kecil, dengan alasan hendak membebaskan
Kerajaan Johor dan mengembalikannya kepada sultan yang lebih berhak, yakni
Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV.
Atas bantuan
lima bangsawan Bugis, akhirnya dalam tahun 1722, Tengku Sulaiman pun berhasil
merebut kekuasaan dari Raja Kecil, yang kedmudian pada tanggal 4 Oktober 1722
dilantik menjadi Sultan Riau dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah.
Bersamaan dengan itu, Daing Marewah pun diberi kehormatan memangku jabatan
sebagai Yang Dipertuan Muda Riau, sehingga Riau “dipimpin” oleh Yang Dipertuan
Besar, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dan Yang Dipertuan Muda Daing Marewah
(2004:6-7).
hanya sebagai sesama manusia, melainkan
juga secara resmi dalam tali ikatan menerajui pemerintahan kerajaan antara
orang Melayu dan orang Bugis. Sejak saat itu pulalah—sebagaimana dijelaskan di
atas—dalam kerajaan Melayu adanya pimpinan bernama Yang Dipertuan Muda sebagai pendamping atau orang kedua di samping
Yang Dipertuan Besar, Sultan. Hubungan antara kedua suku itu, terikat penuh
persaudaraan, yang ikatan utamanya adalah Islam dan demi kebaikan kerajaan,
negeri, dan segenap rakyat. Menurut U.U. Hamidy dalam Masyarakat dan Kebudayaan di Daerah Riau, penduduk Riau ini telah
memperlihatkan pula bagaimana masyarakat Melayu di rantau ini mempunyai sikap
dan tingkah laku terhadap suku bangsa dan etnik lainnya dalam kehidupan sosial
dan kebudayaan. Bagaimana pihak Kerajaan Riau-Johor-Lingga-Pahang menerima
kehadiran bangsawan Bugis di Kerajaan Melayu itu cukup menarik. Setelah melalui
pergaulan sosial begitu rupa, mereka tak hanya sekadar memperoleh kelapangan
kehidupan dalam arti yang praktis saja, tetapi juga hal-hal lain, sebagaimana
layaknya mereka di negeri asalnya. Itulah sebabnya, pihak bangsawan Bugis itu
telah diberi kedudukan sebagai Yang Dipertuan Muda Riau. Setelah terjadi
perbauran melalui nikah-kawin antara pihak Bugis dan kaum kerabat Kerajaan Melayu,
keturunan mereka telah tampil dengan citra Melayu (1990:20—21).
Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa
apa-apa yang diikhtiarkan dan dirancang oleh Kompeni Belanda untuk
mempertentangkan suku Melayu dengan suku Bugis, antara lain menjadi salah satu
isi perjanjian, sama sekali tiada berujud dan gagal dijalankan. Pihak Melayu,
dalam hal ini, Sultan Mahmud Riayat Syah, takkan melakukannya. Dengan kata
lain, sangat tak masuk akal bila Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah
bermusuhan dengan Raja Haji dan selepas itu dengan Raja Ali. Bagaimana mungkin?
Pasal, Raja Haji adalah ayah saudara (paman) Sultan Mahmud Riayat Syah.
Lengkapnya, dapat dijelaskan bahwa Raja Mahmud—yang bergelar Mahmud Riayat Syah—adalah
anak Sultan Abdul Jalil ibni Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dan ibundanya Engku
Putih binti Daing Celak (Yang Dipertuan MudaII Riau).Adapun anak Daing Celak
yang laki-laki, antara lain, Raja Lumu dan Raja Haji, sedangkan anaknya yang
perempuan adalah Engku Putih dan Engku Hitam.Dengan demikian, menjadi jelaslah
bahwa ibunda Sultan Mahmud Riayat Syah III, Engku Puteh, dan Raja Haji adalah
adik-beradik. Jelasnya, Raja Haji dan Engku Putih adalah anak Daing Celak
dengan isterinya Tengku Mandak binti Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Dengan
demikian, kedua orang datuk (kakek) Sultan Mahmud Riayat Syah adalah orang
besar Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang, yakni dari sebelah ayahnya adalah Yang
Dipertuan Besar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dan dari sebelah ibunya pula adalah
Yang Dipertuan Muda II Riau Daing Celak.
Dengan demikian, nyatalah
Raja Haji dan Sultan Mahmud Riayat Syah berhubungan darah, bersaudara, yakni
Raja Haji adalah ayah saudara (paman) Sultan Mahmud Riayat Syah atau Sultan
Mahmud Riayat Syah adalah anak saudara
(keponakan) Raja Haji. Oleh sebab itu, tak heranlah kita bahwa Raja Haji sangat
sayang kepada anak lelaki dari saudara perempuannya Engku Putih itu. Sudah barang tentu pula Raja
Haji sebagai ayah saudara akan memberikan perhatian, kasih-sayang, didikan,
bimbingan, dan perlindungan penuh dan sebaik-baiknya kepada Sultan Mahmud Riayat
Syah yang yatim-piatu. Siapakah yang tak akan senang dan bangga jika keponakannya
menjadi orang besar dan berhasil menjayakan kerajaan, yang dalam hal ini
sebagai Sultan Kerajaan Melayu RayaRiau-Lingga-Johor-Pahang serta daerah-daerah
takluknya?
Perkara penting terkait Raja Haji dan
hubungannya dengan Raja Mahmud (Sultan Mahmud Riayat Syah) adalah perbauran atau percampuran darah antara Melayu dan Bugis.Dipermaklumkan di
kalangan Melayu dan Bugis bahwa pada diri Raja Haji sudah tak dapat dikatakan
sebagai sebenar-benarnya Bugis, tetapi juga sudah juga menjadi orang Melayu.
Pasal, ayahandanya Daing Celak menikah dengan Tengku Mandak, saudara perempuan
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Sesuai dengan adat Melayu, anak dari
pernikahan bangsawan Bugis dan bangsawan Melayu tak lagi menggunakan gelar
daing.Oleh sebab itu, Haji tak menggunakan gelar daing, tetapi gelar raja sehingga
yang melekat pada namanya secara lengkap Raja Haji sebagaimana lazimnya orang
besar-besar bangsawan, keturunan sultan-sultan Melayu. Menurut Hasan Junus,
tiga orang raja muda atau Yang Dipertuan Muda Riau sebelumnya yaitu Daing
Marewah, Daing Celak, dan Daing Kamboja masih belum bercampur darah dengan
pihak Diraja Riau. Barulah pada Raja Haji persemendaan (perkawinan silang)
antara Melayu dan Bugis menjadi bersebati karena beliaulah Raja Muda pertama
Riau yang berdarah campuran. Oleh sebab itulah, gelar kebangsawanannya bukan
lagi daing, melainkan raja. Dalam hal ini, Sultan atau Yang Dipertuan Besar
Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang (Sultan Mahmud Riayat Syah, Pen.) ialah kemanakannya dari pihak
bapa. Beliau (Raja Haji) merupakan Yang Dipertuan Muda Riau yang paling luas
diterima oleh rakyat dibandingkan dengan ketiga Yang Dipertuan Muda sebelumnya
karena asal keturunannya yang terdiri atas pertautan dua keturunan Melayu dan
Bugis (2000:9 dan 29).
Sultan Mahmud Riayat Syah juga mempunyai
pertalian darah atau persaudaraan dengan Daing Kamboja Yang Dipertuan Muda III
Riau. Hubungan itu adalah ayah Daing Kamboja, Daing Perani, adalah saudara
kandung Daing Celak Yang Dipertuan Muda II Riau (ayah Raja Haji). Raja Haji pula
adalah saudara kandung Engku Putih, ibunda Sultan Mahmud Riayat Syah.Dengan
demikian, Sultan Mahmud Riayat Syah terhitung atau termasuk anak saudara
(keponakan) dari Daing Kamboja atau sebenarnyalah Daing Kamboja adalah juga
paman Sultan Mahmud. Dengan demikian, amatlah masuk akal bila Daing Kamboja
Yang Dipertuan MudaIII Riau dan Kelana Raja Haji menempatkan Sultan Mahmud pada
kedudukannya sebagai Yang Dipertuan Besar, Sultan Riau-Lingga-Johor-Pahang pada
kedudukan sebagaimana patutnya.[1]
[1] Tentang pertalian atau
hubungan darah atau persaudaraan secara zuriat atau keturunan yang dekat dan
rapat antara Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah
III) dengan Daing Celak (Yang Dipertuan Muda Riau II), Daing Kamboja (Yang
Dipertuan Muda Riau III), Raja Haji (Yang Dipertuan Muda Riau IV), Raja Ali (Yang Dipertuan Muda Riau V) dan
Raja Jaafar (Yang Dipertuan Muda Riau VI) dapat dilihat dalam sumber terdekat
adalah sumber Nusantara, yakni Tuhfat
al-Nafis (terbit tahun 1865)—yang
disusun awal oleh Raja Ahmad dan diselesaikan oleh anaknya, Raja Ali Haji—dan
sumber luar negeri, pihak Belanda, yakni Belanda
di Johor dan Siak 1602-1865 (terbit tahun 1870)oleh E. Netscher yang
diterjemahkan (2002) oleh Wan Ghalib. Sumber-sumber atau buku-buku tentang hal
ini, sudah ditulis oleh banyak orang (penulis) baik di Indonesia, Malaysia,
Singapura maupun dari beberapa negara di dunia.
Wafatnya Daeng
Kamboja dan Raja Haji
Pada
tahun 1777 Yang Dipertuan Muda Riau III Daeng Kamboja meninggal dunia dan digantikan oleh
Raja Haji sebagai Yang Dipertuan muda Riau IV. Pada waktu itu Sultan atau Yang
Dipertuan Besar Mahmud Ri’ayat Syah (Mahmud Syah III) sudah berusia 17
tahun.Sedangkan masa kekuasaannya atau menduduki jabatan sebagai Sultan atau
Yang Diertuan Besar Kerajaan Riau-Johor dan Pahang sudah berlangsung selama
lebih 16 tahun.Sultan Mahmud Syah III bersama Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja
Haji semakin meningkatkan kemajuan pengeloaan negeri dan kekuatan pasukan
perang.Peningkatan kemajuan dan kemakmuran masyarakat menjadi perkara penting
yang dilakukan oleh beliau yang disokong oleh Yang Dipertuan Muda, Bendahara
dan pembesar-pembesar kerajaan lainnya baik di Johor maupun di Pahang.Sehingga
pada masa itu Bandar Riau di Hulu Sungai Carang berdatangan para pedagang dari
berbagai kawasan, misalnya dari Jawa, China, Benggali dan Eropa.
Menyusul semakin maju dan makmurnya
Kerajaan Riau, maka Belanda yang berkedudukan di Malaka mulai bermaksud
menanamkan pengaruhnya di Riau dengan taktik bersahabatan melalui
perjanjian-perjanjian dagang.Pada tahun 1782 Belanda mengingkari perjanjiaan
kerjasama perdagangan yang sudah dibuat.Hal inilah yang memicu terjadinya
konflik antara Pihak Kerajaan Riau dengan Belanda yang pada akhirnya pecah
perang. Perang pertama terjadi di perairan Teluk Riau, sekitar selat Pulau
Penyengat dengan Tanjungpinang, yang ketika itu Belanda mengerahkan pasukan
besar untuk memblokade dan mengalahkan Kerajaan Riau.Tapi sebaliknya, Belanda
kalah dan berundur dengan sisa-sisa pasukan dalam keadaan kucar-kacir ke
Melaka.
Menyusul kekalahan Belanda dalam perang
tersebut, maka Sultan Mahmud Syah III sebagai Sultan atau Yang Dipertuan Besar
menyepakati dengan Raja Haji selaku Yang Dipertuan Muda untuk melanjutkan
perperangan dengan menyerang Belanda di Malaka. Akhirnya Sultan Mahud
Syah III dan Raja Haji beserta pasukan perang Kerajaan Riau berangkat menuju
Malaka.Sebelum sampai Malaka, Sultan dan pasukan singgah dan berenti di Linggi.
Sultan dan Yang Dipertuan Muda, akhirnya menyepakati, bahwa Sultan atau Yang
Dipertuan Besar tinggal di Linggi dan mesti
segera kembali ke pusat kerajaan di Hulu Riau, Pulau Bintan untuk
memperkuat pertahanan di pusat kerajaan dan mengambil langkah-langkah tepat
bila terjadi sesuatu yang tidak baik dengan Raja Haji beserta pasukannya di
Malaka. Setelah keduanya bersepakat, dan Raja Haji memberi penghormatan atas
Mahaduli kepada Sultan Mahmud, maka Raja Haji dengan pasukan langsung
meninggalkan Linggi dan siap menyerang Belanda di Malaka. Penyerangan terjadi,
perperangan pecah, dan pada tanggal 18 Juni 1784 Raja Haji tewas dalam
perperangan itu, sementara Sultan Mahmud sudah kembali ke Riau untuk memperkuat
pertahanan kerajaan dalam rangka menghadapi kemungkinan serangan balik Belanda
dari Malaka.
Hancurkan Pasukan
Belanda dan Pindah ke Lingga
Atas wafatnya
Raja Haji, maka Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah melantik Raja
Ali ibni Daeng Kamboja sebagai Yang Dipertuan Muda Riau V.Selepas itu, Sultan
Mahmud dibantu Yang Dipertuan Muda Raja Ali mempersiapkan pasukan perang
Kerajaan Riau-Johor dan Pahang. Maka pada tanggal 23 Oktober 1784 Belanda pun
datang untuk menyerbu pusat Kerajaan Riau di Hulu Riau, Sungai Carang.Pasukan
disambut dengan perlawanan perang oleh pasukan Kerajaan Riau yang dipimpin
Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) dan Raja Ali.Namun sayang
pasukan Kerajaan Riau, terutama yang dipimpin Raja Ali tidak berimbang dengan pasukan Belanda, maka
Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau V itupun meninggalkan Riau menuju Mempawah,
Sukadana, Kalimantan. Dalam keadaan ditinggalkan oleh Raja Ali dengan
pasukannya itu, maka Sultan Mahmud Syah III tetap bertahan dan akan terus melawan
Belanda. Dalam keadaan yang serba sulit itupun, Sultan Mahmud mencari jalan
keluar untuk menyelamatkan kedaulatan dan marwah kerajaan dari campur tangan
Belanda.Maka beliau pun menempuh dengan taktik diplomasi sehingga perperangan
dapat dihentikan atau dijeda untuk sementara waktu. Dalam keadaan demikian,
pada akhirnya Sultan Mahmud menemukan jalan keluar, beliau harus bersekutu
dengan pasukan lainnya, terutama dari Sulu, dan kawasan lainnya, sehingga
perperangan dengan Belanda akan diperoleh kemenangan.
Tentang
perlwananan lanjutan Sultan Mahmud Syah III kepada Belanda, sebagaimana
dijelaskan Hasan Junus dalam bukunya Engku Puteri Raja Hamidah (2002),
bahwa pada tanggal 19 Juni 1785 Divid Ruhde menempati pos sebagai Residen
Belanda pertama di Riau dan membangun garnizun di Tanjungpinang. Pada bulan
Desrmber 1785 Sultan Mahmud Syah diiringi oleh pembesar Kerajaan, yakni
Bendahara, Temenggung dan Indra Bungsu berkunjung ke Malaka. Akan tetapi dalam
perjalanan itu, secara rahasia Sultan Mahmud Syah III mengutus seseorang
bernama Thalib mengubungi penguasa Tempasok, yang bernama Raja Ismail untuk dapat bersekutu dan mengerahkan
orang-orang Ilanun Sulu, Jolo, Balangingi untuk menyerang Belanda di Riau
(Tanjungpinang). Utusan itu segera menemui Raja Ismail, sementara Sultan dan
rombongan meneruskan perjalanannya ke Malaka, namun tatkala mendapat kabar dari
Raja Ismail menyetujui penyerangan Belanda di Tanjungpinang, maka Sultan Mahmud
Syah III dan rombongan segera kembali ke
Riau, Tajungpinang untuk bersiap dengan pasukan Kerajaan Riau-Johor dan Pahang
di pusat kerajaan. Pada akhirnya,
tanggal 2 Mei 1787pasukan Ilanun sebagaimana permintaan Sultan Mahmud,
tiba di Riau dan menyerang Belanda, sehingga memporak porandakan Garnizun
Belanda di Tanjungpiang.
Rangkaian
peristiwa sehingga pecahnya perang antara Kerajaan Riau-Johor dan Pahang dengan
Belanda di Tanjungpinang, menurut laporan Belanda, E. Netscher (1870) yang
diterjemahka Wan Ghalib (2002), yakni “Belanda di Johor dan Siak 1602-1865”,
dijelaskan panjang lebar dari halaman 368-380. Dalam laporannya itu, dapat
dibaca dan dipapahami dengan jelas, bahwa pihak Belanda yang dipimpin Residen
Ruhde dan Komandan J.C. Vetter tertipu oleh taktik Sultan Mahmud Ri’ayat Syah,
sehingga pada akhirnya mereka (Belanda) digempur habis-habisan sampai kalah dan
melarikan diri ke Malaka.
E. Netcher, menjelaskan
Residen Ruhde dan Komandan J.C. Vetter
datang menghadap Sultan Mahmud dengan maksud mengirimkan sedikit perbekalan
seperti beras dan buah-buahan kepada orang-orang Solok (Sulu) itu agar mereka
dapat meninggalkan Riau dalam keadaan yang memadai. Sultan memberikan mereka dengan satu pikul beras dan
berang-barang perlengkapan lainnya kepada Raja Alam dan Raja Muda yang disambut
dengan rasa terimakasih yang sepantasnya.
Pada tanggal 10 Mei pukul 7 malam, terdengar suara
orang banyak rebut-ribut bunyinya di luar benteng sepanjang pantai.Subuh hari
tanggal 13 Mei musuh menyusup ke sebelah Selatan Terusan Riau melalui Penyengat
dan Senggarang tapi dihadang oleh pencalang bernama Bangka bersama sebuah slup
bernama Johanna menghala ke Batu Itam di pengkolan sebelah Selatan
Tanjungpinang.
Pukul 7 malam—musuh pun maju dari arah gunung merapat
ke pinggir pencalang dan slup sehingga pertempuran tak terhindar lagi.Di
Pencalang Bangka terdapat Residen D. Ruhde dan Komandan J.C. Vetter dan
beberapa opsir.Lalu dua buah perahu musuh mendekati selat Singapura, sementara
kapal Bangka terus menuju Malaka.Sementara itu Slup Johanna tetap tinggal di
Riau dan tersadai di pasir ditawan oleh musuh-musuh itu. Pejabat pemerintahan
di Melaka berkesimpulan—Sultan Mahmud—dengan pasukan Sulu itu bersekongkol
melaksanakan kehendaknya itu (Netcher:370-171).
Berkenaan dengan
perperangan antara Kerajaan Melayu di bawah pimpina Sultan Mahmud Syah III
dengan Belanda kali itu, dijelaskan Raja Ali Haji dalamTuhfat Al Nafis.
Maka banyaklah (Holanda-holanda itu) mati lalu (ia) turun ke kecinya (mana-mana
yang hidup), ada yang turun ke sebelah Semangka berlayar ia ke Malaka,
mana-mana yang hidupnya. (Kata satu kaul adalah keci itu sangkut maka
dikerumunkan oleh perangai-perangai itu. Maka alahlah keci itu dan kubu di
Tanjungpinang pun dapatlah dan seekor Holanda pun tiada lagi tinggal di dalam
negeri Riau lagi) (1991: hlm. 432).
Kekahalan Belanda
dalam perperangan pada tanggal 13 Mei 1787, itu menurut Gubenur Malaka Pieter
Gerardus de Bruijin sebagaimana dilaporkan E. Netcher, telah membuktikan Sultan
Mahmud Syah III dengan pasukan sekutunya adalah musuh Belanda. Bahkan Sultan
Mahmud telah berupaya untuk melumpuhkan Belanda bukan hanya melibatkan beberapa
kerajaan Melayu dan Ilanun, dan pada selanjutnya juga adalah mengajak Inggris.
Dalam laporan Belanda yang ditulis E. Netcher, itu ditegaskan bahwa permusuhan
Sultan itu dapat dijumpai dalam sepucuk surat yang beliau kirimkan kepada
kapten Inggris Francis Light di Pulau Pinang tanggal 10 November 1787. Adapun
surat tersebut ditulis Sultan Mahmud Syah III pada tanggal 29 Muharram tahun
1202 Hijrah 10 November 1787 Masehi.
Setelah berhasil
memukul kalah pasukan Belanda dan mengusir Residen Belanda dari Tanjungpinang,
maka Sultan Mahmud mencari jalan keluar agar Kerajaan Riau-Johor dan Pahang
tidak dapat dikuasai Belanda. Maka beliau berpendapat dan memutuskan pusat kerajaan mesti dipindahkan
dari Hulu Riau, Sungai Carang ke kawasan lain, dan pilihannya jatuh ke Lingga.
Menurut Tuhfat Al Nafis, maka musyawarahlah Baginda (Sultan Mahmud
Ri’ayat Syah, Pen.) dengan Raja Indra Bungsu, dan Datuk Bendaha
sekalian. (Maka) (titah Baginda) “Tiadalah terhemat duduk di dalam negeri Riau
sebab Holanda-Holanda itu tentu datang semula ia melanggar negeri Riau (padahal
di dalam negeri) kekuatannya sudah tiada lagi.Jikalau begitu baik kita pindah
ke Lingga”.Maka sembah segala orang besar-besar-nya, “mana-mana titah sahaja
(lah) (adanya).” Sahdan Baginda pun (bersiaplah beberapa kelengkapan) berangkat
(berlayar) ke Lingga bersama-sama Raja Indra Bungsu serta segala orang Melayu/
sertalah/ peranakan Bugis kira-kira lebih 200 buah perahu (yang di dalam Riau
itu besar-kecil yang) mengiringkan Baginda (berangkat) pindah ke Lingga itu.
Syahdan adapun suku-suku (/Melayu/ pihak Datuk), Bendahara) (itu) berlayarlah
(ia) ke Pahang kira-kira tengah 200 perahu-perahu (besar kecil dan setengah
suku-suku Melayu ke Terengganu—dan tiada lagi tinggal di dalam negeri Riau
(Matheson Hooker, 1991, Hlm: 433).
Perpindahan
Sultan Mahmud Ri’ayat Syah dengan segenap pembesar dan sekalian rakyat Kerajaan
Riau-Johor dan Pahang ke Lingga dan ke berbagai kawasan itu, terjadi pada pahun
1787 itu juga. Sultan Mahmud membangun Lingga
sebagai kawasan baru menjadi pusat Kerajaan Riau-Johor dan Pahang,
sehingga kerajaan itupun disebut dengan nama baru yakni Kerajaan
Riau-Lingga-Johor dan Pahang. Sultan Mahmud Syah III membangun Lingga, dan
pertambangan Timah di Singkep.Beliau pun memposisikan diri sebagai Sultan yang
bergerilya di laut untuk terus melakukan perlawanan dengan Belanda.Beliau
dikenal pula sebagai Sultan yang bersekutu dengan bangsa-bangsa Lanun dalam hal
mengganggu kepentingan Belanda di perairan Selat Malaka.Sultan Mahmud dengan
kekuatannya kemudian keluar dari Lingga dan senantiasa “merayau” dan mengacau
aktivitas Belanda di laut.Sementara itu beliau bukan hanya menjalin persekutuan
dengan kerajaan-kerajaan Melayu lainnya, tetapi mengajak Inggris untuk mengusir
Belanda dari Malaka.
Tentang hal itu
sebagaimana dijelaskan E. Netcher dalam laporannya untuk kepentingan Belanda,
bahwa Sultan Mahmud rupanya telah membuat suatu perkiraan yang nampaknya cukup
menguntungkan dirinya yaitu dengan mengirim surat meminta bantuan kepada
Gubernur Jenderal kompnei Inggeris di Benggala, sementara bersekutu dengan
Sultan Ibrahim dari Selangor dan nenendanya Sultan Mansur Syah dari Terengganu.
Masih menurut
laporan E. Netcher, Gubernur dengan Dewan di Melaka sudah hendak menghukum
Sultan Mahmud Syah III, tetapi malahan meminta Sultan Terengganu dan Sultan
Selangor menjadi perantara untuk berunding dengan Sultan Mahmud sebagaimana
keputusan yang dihasilkan Pemerintahan Tinggi Hindia (Batavia), antara lain
untuk menempatkan Sultan Mahmud di Lingga dan dari sana ke Pahang. Namun sayang,
Sultan Mahmud itu sudah berada di sana sejak awal tahun 1788. Juga dikatakan
bahwa Sultan Mahmud itu telah mematai-matai Melaka dalam kunjungannya ke sana.
Ada laporan yang mengatakan bahwa Sultan itu dalam bulan Maret pergi berkelana
ke Lingga dengan memakai dua buah penjajab besar yang juga dipersenjatai
(Ghalib, 2002: 374-375).
Isteri dan Anak
Sultan Mahmud
Pada tanggal 29
Mei 1795 Belanda dan Inggris menyerah kepada Sultan Mahmud sehingga kekuasaan
Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Ri’ayat Syah berlaku seperti zaman Sultan
Sulaiman Badrul Alamsyah, yakni Riau-Johor dan Pahang, dan kemudian berubah
nama menjadi Riau-Lingga-Johor dan Pahang beserta rantau takluknya. Berkenaan
dengan kegigihan dan ketangguhan serta keuletan Sultan Mahmud Syah III berjuang
melawan Belanda dengan Perang Gerilya Laut, perlu dijelaskan sekilas pintas
tentang isterinya dan anak-anaknya.
Adalah Sultan
Mahmud Ri’ayat Syah semasa hidupnya melakukan empat kali pernikahan, yang dapat
hidup rukun damai bersama empat isterinya. Pernikahan yang paling bersejarah
dan dalam rangka semakin memperkokoh persaudaraan Melayu-Bugis, maka pada tahun
1803 Sultan Mahmud Riayat Syah menikah untuk yang keempat kalinya yakni dengan
Engku Puteri Raja Hamidah ibni Raja Haji dan menghadiahkan Pulau Penyengat
sebagai “Maskawin” kepada Raja Hamidah. Pulau Penyengat pun dibangun sebagai
sebuah kota penting dalam Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang.
Perlu dijelaskan
tentang pernikahan “persaudaraan” demi keutuhan kerajaan antara Sultan Mahmud
dengan Egku Puteri. Menurut
Hasan Junus, tak hanya dijelaskan
oleh sumber pribumi, yang antara lain Raja Ahmad dan Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis, tetapi bahkan
dapat dirujuk sumber yang ditulis oleh
pihak Belanda, yakni E. Netscher dalam bukunya De Nederlanders in Djohor en Siak 1602 tot 1865 Histische Beschrijving (Burining
& Wijt, Batavia, 1879, hlm. 246). Katanya, Den 12den Januarij 1812 overleed Sulthan Mahmoed. Zijne opvolging was
de aanleiding tot belangrijke gebeurtenissen in het tijk van Djohor.Deze vorst
was gehuwd met Ongkoe Poewan, eene dochter van den Bandahara van Pahang. Na
verloop van eenigen tijd, gene kinderen bij haar bebbende, trouwede hij Intjeh
Makoh, eene dochter van eenen Boegies, genamd Daing Matoerang of Intjeh Djafar.
Het huwelijk werd ingezegend door Imam Said; de getuigen er van waren Mohammad
Tahir en Lebei Moestafa, met nog vif andere fatsoenlijke Lieden. Intjeh Makoh
baarde eenen zoon, genamd Togkoe Hoesin of Tongkoe Soeloeng.
Eenigen tijd daarna, in 1780, huwde Sulthan Mahmoed Intjeh Mariam,
eene dochter van den Bandar Hasan. Dit huwelijk was voorgesteld door den
onderkoning Radja Hadji. Het werd ingezegend te zijnen huize, door Hadji
Jakoeb, in tegenwoordigheid van Datoe Soeleeatang Ibrahim en den Sabandar
Mohammad. Intjeh Mariam baardeen zoon, genamd Tongkoe Abd’oerrahman.
Soelthan Mahmoed huwde ten vierde male met Tongkoe Hamidah of
Ongkoe Poetri, eene dochter van wijlen Radja Hadji. Onderkoning van Riouw, Zij
bleef kindeloos.
Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia,
kata Hasan Junus, adalah Sultan Mahmud meninggal dunia pada 12 Januari 1812.
Penggantian sultan sesudahnya merupakan suatu kejadian yang sangat penting bagi
Kerajaan Johor.
Raja ini menikah dengan Engku Puan, putri
Bendahara Pahang. Dari perkawinan ini tiada terdapat keturunan, lalu beliau
menikah pula dengan Encik Makoh, anak seorang Bugis yang bernama Daing Maturang
atau Encik Jaafar. Pernikahan dilaksanakan oleh Imam Said dengan saksi-saksi
yang terdiri atas Muhammad Tahir dan Lebai Mustafa serta lima orang patut-patut
lainnya. Encik Makoh melahirkan seorang putera yang diberi nama Tengku Husin alias
Tengku Sulung.
Suatu masa yang lain, pada 1780, beliau
menikah pula dengan Encik Maryam, anak Datuk Bandar Hasan. Perkawinan ini
dilaksanakan atas usul Raja Haji. Imam nikahnya ialah Haji Yaakub, dengan para
saksi yang terdiri atas Datuk Suliwatang Ibrahim dan Syahbandar Muhammad. Encik
Maryam melahirkan seorang anak lelaki yang diberi nama Abdurrahman.
Sultan Mahmud menikah untuk keempat
kalinya dengan Tengku Hamidah atau Engku Puteri, anak dari Raja Haji yang
menjadi Raja Muda pada masa itu. Dari perkawinan ini tidak ada keturunan
(Junus, 2002:13-14).
Menurut Buyong AdilSejarah Johor, Sultan Mahmud Syah III menikah dengan Raja Hamidah
(disebut juga Engku Puteri) anak almarhum Raja Haji Marhum Telok Ketapang,
berlangsung dalam tahun 1803 dan diam di Pulau Penyengat, dan baginda pun
menyerahkan Pulau Penyengat itu menjadi hak milik Raja Hamidah. (Adil,
1971:153-154).
Kedaulatan negeri Kerajaan
Riau-Lingga-Johor dan Pahang tetap wujud, kemakmuran terwujud, kemajuan di
bidang tamadun Melayu dicapai derngan gemilang di bawah pimpinan Yang Dipertuan
Besar Sultan Mahmud Riayat Syah. Beliau
adalah satu-satunya Sultan yang berkuasa terlama dalam perjalanan Kerajaan Melayu
sejak Kerajaan Bintan, Temasik (Singapura), Malaka, Johor dan Riau, yakni lebih
daripada 50 tahun. Hebat dan mengagumkannya beliau dilantik menjadi Sultan pada
usia balita, kurang daripada 2 tahun, tetapi selama beliau berkuasa tidak
pernah terjadi satu kalipun pemberontrakan, perpecahan di antara keluarga dan
poetinggi negeri. Beliau betul-betul handal dan terdepan menjadi orang besar pemerastu
Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor dan Pahang. Beliau tutup usia pada tanggal 12
Januari 1812 di Daik Lingga, dalam usia 52 tahun. Sultan Mahmud semasa
hidupnya, oleh pembesar kerajaan dan rakyatnya terutama setelah berkedudukan di
Lingga diberi gelar “Paduka Lingga” dan karena bergrilya di luat mengacau laut
dari Laut Riau sehingga Melaka dan Laut Jawa, maka dikatakan oleh Belanda
sebagai “Raja Lanon”. Setelah beliau wafat, beliau digelari Marhum Masjid
Lingga.
Belanda dan
Inggris Belah Riau
Sepeninggal Yang
Dipertuan Besar Sultan Mahmud, maka Tengku Abdul Rahman dilantik menjadi Sultan
Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang
dengan Yang Dipertuan Muda Raja Ja’far ibni Raja Haji.Sejalan dengan itu,
Kerajaan Belanda dan Kerajaan Inggrissama-sama hendak menguasai wilayah
Kerajaan Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang. Pada gilirannya terjadilah
“Traktat London” (perjanjian London) 1824 antara Belanda dengan Inggris di
Inggeris. Di antara isi perjanjian itu adalah membelah keutuhan wilayah
Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang.Wilayah Riau-Lingga dan pulau-pulau di
sekitarnya dibawah administrasi Belanda.Sedangkan wilayah Johor-Pahang,
termasuk Singapura di bawah kekuasaan Inggris.
Untuk
merealisasikan pembagian wilayah itu, maka Belanda mengakui Sultan Abdul Rahman
sebagai Yang Dipertuan Besar atau Sultan hanya untuk wilayah Riau-Lingga saja
(1812-1819). Sementara Inggris pula pada akhirnya menjemput Tengku Husin
(Tengku Long) putra Sulung Sultan Mahmud Ri’ayat Syahyang berada di Pulau
Penyengat dan dibawa ke Singapura (Temasik) dan dilantik menjadi Sultan
Singapura dengan wilayahnya Singapura dan Johor, dengan gelar Sultan Husin Syah
(berkuasa 1819-1835). Sedangkan Pahang dan sekitarnya memisahkan diri dan
menjadi Kerajaan tersendiri dengan Rajanya adalah Sultan Ahmad (yang semula adalah Bendahara Kerajaan
Riau-Lingga-Johor dan Pahang).
DAFTAR
PUSTAKA
Abubakar,
Tengku Ahmad & Hasan Junus. 1972. Sekelumit
Kesan Peninggalan Sejarah Riau. Daik-Lingga, Asmar Ras.
Abrus, Rustam S., dkk. (Penyunting). 1988. Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau Melawan
Belanda (1782—1784). Pekanbaru: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Riau.
Adil,
Haji Buyong. 1971. Sejarah Johor.
Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian
Pelajaran Malaysia.
Ahmad, A. Samad
(Penyelenggara). 1985. Kerajaan
Johor-Riau, Kuala Lumpur, Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.
Andaya, B.W. 1987. Kerajaan Johor 1641-1728 Pembangunan Ekonomi Dan Politik. Terj.
Shamsuddin Jaafar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,Kementerian
Pendidikan Malaysia.
Andaya, B.W. 1997. Recreating a Vision, Daratan and Kepulauan in
Historical Context, Bijdragen tot de Taal,- Land-en Volkenkunde, Vol.
153, hlm. 483—508.
Fitri,
Raja Suzana (Editor). 2002. Bahana Ilmu
Setanggi Kata (Kumpulan Cakap Rampai Raja Hamzah
Yunus. Tanjungpinang, Bagian Organisasi Pemda Kepulauan Riau.
Galba,
Sindu, dkk. 2001. Sejarah Kerajaan Riau
Lingga, Tanjungpinang, Bappeda Kabupaten Kepulauan
Riau dengan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.
Ghalib,
Wan, dkk. (Penerjemah). 2002. Belanda di
Johor dan Siak 1602-1865 Lukisan Sejarah. Siak,
Pemerintah Kabupaten Siak & Yayasan Arkeologi dan Sejarah “Bina Pusaka”.
Ghazali,
Abdullah Zakaria. 1997. Istana dan
Politik Johor (1835-1885), Kuala Lumpur, Yayasan Penataran Ilmu.
Hooker, Virginia Matheson. 1991.Tuhfat Al-Nafis Sejarah Melayu-Islam. Penterjemah
Pengenalan Ahmad Fauzi Basri. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia.
Husain,
Shaharom. 1995. Sejarah Johor Kaitannya
dengan Negeri Melayu, Kuala Lumpur, Fajar Bakti
SDN.BHD.
Ibrahim,
Abdul Kadir, Yussuwadinata, Raja Malik Hafrizal & T.M. Fuad. 2007. Riwayat Singkat Pahlawan Nasional Raja Haji Fisabilillah.
Tanjungpinang, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata-Pemerintah
Kota Tanjungpinang.
Junus,
Hasan, dkk. 2004. Sejarah Perjuangan Raja
Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia. Pekanbaru,
Unri Press & Pemerintah Kota Tanjungpinang.
Junus,
Hasan. 2002. Engku Puteri Raja Hamidah
Pemegang Regalia Kerajaan Riau. Pekanbaru, Unri
Perss.
Junus,
Hasan. 2000. Raja Haji Fisabilillah
Hanibal dari Riau. Tanjungpinang, Hubungan Masyarakat
Pemerintah Daerah Kepulauan Riau.
Liamsi,
Rida K. 2007. Bulang Cahaya,
Pekanbaru, Yayasan Sagang.
Liamsi, Rida. K. 1989. Tanjungpinang Kota Bestari. Tanjungpinang:
Pemerintah Kotif Tanjungpinang dan Lembaga
Studi Sosial Budaya Tanjungpinang.
Lutfi, Muchtar. 1997. Sejarah Riau. Pekanbaru: Pemda Tingkat I Riau.
Matheson, Virginia. 1982. “Pengenalan,”
dalam Raja Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuhfat
al-Nafis. Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn. Bhd.
Munoz,
Paul Michel. 2009. Kerajaan-Kerajaan Awal
Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia.
Yogyakarta, Mitra Abadi.
Netscher, E. 1870.De Nederlanders in Djohor en Siak 1602 tot 1865. Batavia: Bruijning
en Wijt.
Netscher,
E (Penerjemah: Wan Ghalib). 2002. Belanda
di Johor dan Siak 1602-1865, Kabupaten Siak,
Pemerintah Daerah Kabupaten Siak & Yayasan Arkeologi dan Sejarah “Bina Pusaka”.
Nordin,
Mardiana. 2008. Politik Kerajaan Johor
1718-1862. Johor Bahru, Yayasan Warisan Johor.
Pemerintah
Propinsi Riau.1993. Dari Kesultanan Melayu Johor Riau ke
Kesultanan Melayu Lingga Riau. Pekanbaru:
Pemerintah Propinsi Riau.
Perret, Daniel.1998.Sejarah Johor-Riau-Lingga sehingga
1914: Sebuah Esei Bibliografi.Ecole francais d’Extreme-Orient: Kementerian
Kebudayaan, Kesenian, dan Pelancongan Malaysia.
Raja Ahmad dan Raja Ali Haji. 1982. Tuhfat al-Nafis, dalam Virginia Matheson
(Ed.). Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn.
Bhd.
Ricklefs,
M.C (Gadjah Mada University Press). 1999. Sejarah
Indonesia Modern. Jakarta, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Tuhfat
Al-Nafis. Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji. 1982. Fajar Bakti SDN.BHD: Kuala
Lumpur.
Sejarah
Malaysia. Barbara Watson Andaya dan Leonard Y Andaya. 1982. Macmilan Publisher
(M) Sdn.Bhd Syarikat dan Cawangan di seluruh dunia: Malaysia.
Surat-surat
perdjanjian antara kesultanan Riau dengan Pemerintahan V.O.C dan Hindia Belanda
1784—1909. 1970. Arsip Nasional Republik Indonesia: Jakarta.
Warisan
Sejarah Johor. 1983. M.A. Fawzi Basri. Persautuan Sejarah Malaysia: Kuala
Lumpur.
Jejak
Nusantara Ketahanan Budaya Dalam
Memperkokoh Karakter Bangsa. Jurnal Sejaarah dan Nilai Budaya. 2013.
Kasijanto. Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya: Jakarta.
Tuhfat
Al-Nafis, Naskah Terengganu. 1991. The House Of Tengku Ismail.
Bukan
350 Tahun Dijajah. 2012. G.J Resink. Komunitas Ba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar